Rabu, 29 September 2021

PENJELASAN KOMPREHENSIF ASURANSI OLEH USTADZ MOHAMMAD B. TEGUH, LC, MA, AEPP, CFP

Mohammad B. Teguh, Lc, MA, CFP adalah seorang ustadz sekaligus ahli perencana keuangan yang menempuh pendidikan S1 di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir pada Fakultas Dirasat Islamiyah Wal Arabiyah, lalu melanjutkan studi S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada Program Studi Ekonomi Islam.

Penggabungan pendidikan berbasis Islam dengan pendidikan formal dan disertai pengalaman kerja langsung di bidang ekonomi syariah menjadikan beliau cukup memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait ekonomi Islam termasuk saat diminta pendapatnya tentang asuransi. Secara organisasi, beliau juga banyak ditunjuk dalam sejumlah jabatan seperti Anggota Badan Pelaksana Harian, DSN (Dewan Syariah Nasional) – Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua dan Anggota DPS (Dewan Pengawas Syariah) di perbankan syariah dan perusahaan manajer investasi, dan lain-lain.

Berikut cuplikan ceramah beliau yang disampaikan dalam Kuliah Dzuhur, 23 Maret 2016, terkait hukum asuransi menurut pandangan Islam dengan pemaparan yang runut, sistematis, dan berbasis dasar acuan referensi yang jelas :

“Kita membahas tentang asuransi syariah. Nah kira-kira beberapa hal yang akan kita kaji sehingga kita bisa melihat pandangan Islam seperti apa. Maka kita harus tahu dulu asuransi itu apa. Maka saya ambilkan langsung dari rujukannya, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 246 yang mengatakan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian timbal balik dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung yang menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa tidak tentu. Agak sedikit belibet sih.”

“Dalam muammalah Islam, salah satu rukun daripada pertukaran. Islam mengakui adanya pertukaran. Islam mengakui adanya hak milik seseorang. Kepemilikan seseorang itu diakui oleh Islam dan meskipun kepemilikan hakiki itu adalah kepemilikan milik Allah SWT, ketika seseorang melepaskan kepemilikan itu disebut dengan wakaf, artinya dia menghentikan dirinya sendiri untuk memiliki sesuatu. Nah wakaf itu adalah melepaskan kepemilikan individu dan dikembalikan kepada Allah SWT. Artinya Islam mengakui kepemilikan. Kepemilikan itu diakui sah apabila sebab-sebab kepemilikan dilalui oleh si pemilik. Saya memiliki handphone ini karena saya membeli. Nah membeli itu adalah sebab-sebab kepemilikan atau dalam bahasa fikihnya adalah ‘asbabul milki’ (sebab-sebab kepemilikan). Selain sebab-sebab kepemilikan, barangnya juga harus barang yang halal, barang yang tidak najis. Maka barang yang haram itu sebenarnya tidak ada kepemilikannya, tidak ada manfaat di dalamnya sehingga tidak dianjurkan atau dibolehkan untuk dimiliki. Dan syarat ketiga apabila mencapai nishob, maka harta itu harus dikeluarkan zakatnya. Syarat kepemilikan itu harus dimiliki dengan sebab-sebab (asbabul milki-nya dipenuhi) baik dengan jual beli, baik dihibahkan. Yang kedua adalah barangnya halal dan yang ketiga kalau nyampai nishob wajib membayar zakat.”

“Nah dalam transaksi asuransi, apa yang diperjualbelikan ? Apa yang dipertukarkan ? Yang dipertukarkan pada hakekatnya adalah risiko. Harganya adalah premi. Premi yang dibayarkan oleh nasabah itu adalah harga dari sebuah jual beli. Yang dibeli adalah risiko. Risiko kalau kendaraannya kecelakaan. Risiko kalau jiwanya menghilang, maaf meninggal. Risiko kalau sakit, dan seterusnya. Itu yang diperjualbelikan. Lalu kita kaji. Nah ini kira-kira gambaran transaksi : nasabah membayar premi, membayar harganya. Si perusahaan asuransi akan menjadi penanggung apabila terjadi musibah. Jika terjadi musibah dia akan membayar klaimnya.” 

“Nah dalam muammalah terutama dalam bab pertukaran atau dalam bab jual beli atau ba’i, itu disyaratkan bahwa salah satu syarat sah jual beli itu. Syarat sah jual beli itu ada dua : Syarat kepada muta’aqidain (kepada orang yang bertransaksi) dan syarat terhadap barang dan harga. Kalau anak-anak sekolah di SD yang islami atau SD IT, ada pelajaran tentang hukum jual beli. Di kelas 6 itu ada fikih jual beli. Bagus sekali. Dari kecil anak-anak sudah diajarkan bagaimana fikih jual beli, merujuk kitab-kitab sunnah. Dalam syarat jual beli, salah satunya terkait dengan barang adalah barang yang diperjualbelikan (selain barangnya halal, tidak najis), bahwa barang diperjualbelikan adalah barang yang mungkin diserahterimakan. Wujudnya ada, barang yang diserahterimakan. Jual beli rumah ada rumahnya. Jual beli mobil ada mobilnya. Maka jual beli fiktif dalam Islam itu dilarang karena tidak memenuhi syarat sah jual beli. Ketika yang diperjualbelikan adalah di sini risiko maka risiko itu sesuatu yang hal tidak clear, yang tidak jelas, bisa terjadi bisa juga tak terjadi. Sehingga salah satu syarat jual beli, yang harus bisa diserahterimakan itu tidak terpenuhi, tidak terpenuhi dalam transaksi asuransi. Selain itu kita mengenal dalam prinsip muammalah semua dibolehkan kecuali yang dilarang. Apa yang dilarang ? Yang dilarang ngga banyak karena larangannya udah berhenti. Rasulullah sudah tidak ada. Ayat Al-Qur’an sudah sempurna. Yang dilarang kalau kita buatkan pie chart-nya tentu sedikit, yang boleh pasti banyak. Apa yang dilarang : riba, gharar, maisir. Lalu adakah transaksi dalam akad asuransi tadi mengandung ketiga hal tersebut."

"Yang pertama : riba. Dalam bahasa aslinya : setiap pinjam meminjam yang ada tambahan manfaat maka itu disebut riba. Apakah dalam asuransi terjadi riba ? Apabila asuransi di sana ada saving atau investasi. Nah investasi atau saving yang berbasis transaksi konvensonal (ditaruh di deposito konvensional, ditaruh di surat berharga konvensional, ditaruh di obligasi yang konvensional) maka di sana mengandung unsur riba. Yang kedua : gharar. Suatu ketidakpastian dari kedua belah pihak. Sering diartikan sebagai sesuatu yang tidak jelas. Kalau beli kucing dalam karung itu bukan gharar, itu penipuan, karena si penjual tahu isinya kucing atau bukan, pembeli ngga tahu. Itu namanya penipuan. Tapi kalau jual ijon itu gharar. Jadi baik pembeli maupun penjual tidak tahu berapa hasil panennya. Jual beli ikan yang masih di lautan. Dalam bahasa Arab, ada gharar, ada jahalah. Kalau jahalah itu ketidaktahuan tapi dari salah satu pihak (penipuan tadi). Apakah terjadi di asuransi terkait gharar. Gharar itu terjadi di asuransi, kenapa ? Karena jual belinya risiko, padahal risiko itu sesuatu yang tidak jelas. Baik penjual maupun pembelinya tidak tahu bakalan terjadi atau tidak. Dan yang ketiga, maisir atau perjudian. Judi itu zero sum game. Spekulasi itu belum tentu judi, kalau judi itu sudah pasti spekulasi. Dalam asuransi konvensional terjadi untung-untungan. Bayar sedikit untuk mendapatkan banyak. Jika mobil saya ngga rusak maka saya membayar kepada asuransi tanpa adanya risiko apapun. Itu adalah maisir yang terjadi di transaksi asuransi." 

“Muamalah pada dasarnya boleh kecuali yang dilarang, sehingga yang dianalisa atau yang dikaji adalah larangan dalam transaksi tersebut. Lalu solusinya, maka muncullah yang dinamakan asuransi sesuai prinsip-prinsip Islam atau sesuai prinsip-prinsip syariah. Sesuai fatwa DSN MUI, pengertian asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional. Asuransi syariah adalah suatu usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian menghadapi risiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Kalau tadi transaksi antara nasabah dan perusahaan asuransi adalah memindahkan risiko. Kalau di asuransi syariah, skemanya diubah. Yang saling menanggung bukan asuransi tetapi sesama peserta asuransi. Jadi yang memberikan santunan bukan perusahaan asuransi tetapi adalah dana bersama. Peserta membayar premi yang dikenal dengan dana tabarru, dana yang sudah diikhlaskan. Dan mereka bersepakat apabila ada peserta terkena musibah maka akan disantuni dari uang ini. Nah, dana ini perlu ada yang mengelola, ada yang mengadministrasikan. Diperlukan sebuah badan, sebuah perusahaan yang namanya perusahaan asuransi syariah. Jadi perusahaan asuransi syariah tidak menerima pembayaran langsung dari nasabah. Di wadah ini perlu ada yang memgelola, perlu ada yang mengadiminstrasikan. Yang melakukan itu adalah perusahaan asuransi. Itu seperti yang terjadi di RT. Setiap warga iuran, ada musibah tidak ada musibah, iuran setiap bulan untuk dana sosial. Apabila ada warga yang meninggal maka ibu-ibu masak untuk makan si yang terkena musibah. Ada yang meninggal pasti ngga sempat masak. Uangnya dari dana bersama ini. Masing-masing kepala keluarga sudah mengikhlaskan akan disedekahkan kepada orang yang terkena musibah.”

“Meskipun sama-sama namanya asuransi tapi cara kerjanya berbeda. Bahkan pada awalnya sejarah asuransi yang terjadi ya begini. Para nelayan punya kapal, berangkat, ada yang pulang, ada yang tenggelam. Yang tenggelam biasanya disantuni oleh pelaut-pelaut lain. Itu kan prinsipnya kayak gini. Sesama pelaut yang mbayarin santunan. Jadi sebetulnya yang dilakukan asuransi syariah itu mengembalikan sejarah asuransi pada awalnya dulu. Perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai pengelola atau operator saja. Dana tabarru yang terkumpul pada pool of fund tidak boleh dianggap sebagai pendapatan perusahaan. Dan klaim juga bukan sebagai biaya. Pendapatannya adalah dari fee (ujroh). Ada beberapa perbedaan asuransi konvensional dan asuransi syariah.”

Dalam sesi tanya jawab, ustadz Teguh menjawab sebagai berikut :

“Uang tidak bisa dianalogikan dengan makanan. Jadi batal qiyasnya. Makanan dengan uang itu adalah dua hal yang berbeda. Memisahkannya adalah dengan sistem akuntansi. Jadi si perusahaan asuransi konvensional yang punya unit syariah, pembukuan harus terpisah, bahwa dia harus punya akun tersendiri. Pengelolaannya juga harus terpisah. Kalau dia mau beli instrumen-instrumen pasar modal yang obligasi yang konvensonal, yang asuransi syariah ngga boleh beli. Keuntungan yang di konvensional hanya boleh dicatatkan di konvensional. Keuntungan di syariah maka hanya milik syariah. Jadi benar-benar terpisah. Tapi uangnya kan nyampur pak ? Iya, tapi uang itu kan hukumnya netral. Yang menjadikan uang itu halal atau haram adalah bagaimana cara mendapatkannya. Laporannya juga terpisah. Jadi kalau sempat baca koran, kalau dia punya unit syariah, itu ada laporan tersendiri. Karena itu seperti perusahaan dalam perusahan, ada pembukuan yang terpisah. Dengan regulasi seperti ini InsyaAllah aman.”

“Apakah mungkin dananya bayar Rp 100 juta, pada masa tertentu menjadi Rp 150 juta yang dipastikan secara fix ? Kalau di konvensional memungkinkan karena dihitung secara bunganya berapa. Kalau di syariah tidak bisa. Yang bisa adalah ekspektasi. Misalkan dengan asumsi bagi hasil 5% maka akan menjadi sekian ratus juta, asal tidak diakadkan di depan, itu boleh. Kalau toh lebih harus dikasih lebih.” 

“Kedua terkait keuntungan. Si pool of fund tadi jika banyak klaim akan habis, jika sedikit klaim tetap banyak, tetap punya nasabah baik lama maupun baru. Karena nasabah lama sudah menghibahkan koq. Jika ada yang kena musibah, maka disantunin dari uang itu, bukan milik perusahaan juga. Kalau habis gimana ? Harusnya tidak kena bayaran. Maka bisa moral hazard padahal ngga habis. Kalau habis beneran, perusahaan asuransi wajib memberikan talangan. Talangan itu tidak boleh dikenakan bunga.” 

 

Ad Placement