Jumat, 03 September 2021

SIKAP USTADZ DR. MUHAMMAD ARIFIN BADRI, LC, MA TERHADAP ASURANSI SYARIAH

Muhammad Arifin Badri merupakan seorang penceramah dan ustadz kelahiran Semarang, 5 Agustus 1975. 

Riwayat pendidikannya dimulai dari Pesantren Islam Al Irsyad Salatiga, lalu melanjutkan jenjang pendidikan S1 di Fakultas Syariah Islamic University of Madinah. Strata S2 ditempuh di tempat yang sama dengan mengambil Jurusan Fiqih. Sedangkan gelar S3-nya berhasil diselesaikan juga di Islamic University of Madinah pada tahun 2010.

Meskipun dalam video yang dapat dilihat di akhir tulisan ini menampilkan ketidaksetujuan terhadap asuransi (berlabel syariah sekalipun) namun menjadi menarik manakala beliau diketahui menjabat sebagai Dewan Syariah pada Fintech Syariah Indonesia dimana fintech sendiri menjadi salah satu entitas dalam bisnis keuangan syariah di Indonesia, selain asuransi syariah. Sementara model perusahaan fintech syariah sendiri yang saya ketahui hampir mirip dengan lembaga pembiayaan lain seperti perbankan syariah dimana para investor (shahibul maal) tidak berakad langsung dengan pihak yang menjalankan bisnis (mudharib). Ia harus menitipkan modalnya terlebih dahulu melalui perusahaan fintech sebelum disalurkan ke pihak ketiga. Dengan demikian, uang yang ada di perusahaan fintech tidak bukan modalnya mereka sendiri. Ia bertindak sebagai intermediary sebagaimana lembaga pembiayaan pada umumnya karena ia hanya menjadi penyalur (yang tidak memiliki usaha riil) karena masih harus menyalurkan dana dari para investor (shahibul maal). Sedangkan secara teori muamalah Islam yang saya ketahui, yang seharusnya terjadi dalam transaksi bisnis dengan menggunakan akad mudharabah adalah adanya hubungan langsung antara shahibul maal dengan mudharib. Masing-masing pihak berada pada posisi yang jelas : shahibul maal hanya punya modal tapi tidak punya tenaga untuk menjalankan bisnis, dan sebaliknya, mudharib hanya memiliki tenaga namun tidak memiliki modal. Belum lagi dengan penetapan risiko bisnisnya yang terefleksi dalam akad, apakah akad mudharabah yang diterapkan benar-benar merefleksikan potensi risiko kerugian yang harus siap ditanggung shahibul maal, ataukah mayoritas akadnya menggunakan akad murabahah yang dipandang lebih aman bagi investor sehingga mustahil investor akan menanggung risiko kerugian atas bisnis yang dijalankan mudharib

Namun tentu saja diskusi atau pembahasan lebih lanjut entang fintech syariah bukan di sini tempatnya karena saya hanya ingin menggali pendapat ulama-ulama kontemporer Indonesia (selain ulama-ulama luar negeri yang sudah terlebih dahulu dikumpulkan pendapatnya). Setelah terkumpul semuanya, baru nanti akan coba saya ulas dan analisa kembali pandangan-pandangan tersebut, mengapa mereka mengambil pendapat demikian, dan apabila terdapat pendapat yang harus diterapkan oleh entitas bisnis asuransi syariah tentu saja harus didukung sebagai upaya untuk mendekatkan pola bisnis syariah agar lebih sesuai dengan kaidah syar'i yang ada.

Berikut adalah transkrips dari Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc, MA terkait penolakannya secara tegas terhadap kehadiran asuransi, hatta itu asuransi syariah  :

“Saya pernah didatangi oleh pegawai asuransi kesehatan. Ditelpon juga sering ditawarkan asuransi kesehatan syariat. Saya bilang, mba, perusahaan mba diasuransikan ngga ? Perusahaan itu ternyata diasuransikan juga. Padahal bisnisnya mereka : Jangan khawatir kalau Bapak, sakit ada jaminan. Ada asuransi masa tua. Padahal mereka tidak percaya dengan perusahaan sendiri. Makanya perusahaan asuransi diasuransikan ke perusahaan lain. Ini kan kita takut sakit, takut tak punya uang, takut diPHK, datang ke orang yang sama-sama penakut. Maka itu bukan solusi. Solusinya itu tawakkal karena prinsip dasarnya : ketika kita menberikan uang premi asuransi setiap bulan, ada yg 10 ribu, ada yang 100 ribu, ada yang sejuta, ada yang lebih lebih, dengan harapan dicover pendidkan atau lainnya. Itu kan hakekatnya kita membayar sejumlah uang untuk mendapatkan sesuatu yang lebih banyak. Padahal dalam Islam, objek ekonomi hanya hanya ada 2 (dua), barang atau jasa, sedangkan uang adalah alat. Uang adalah alat transaksi untuk mempermudah bisnis. Sehingga jika ada objek akadnya adalah uang yang menghasilkan uang maka dipastikan riba. Apapun namanya. Tapi kalau uang diubah menjadi barang maka itu bisnis. Uang untuk mendapatkan jasa atau layanan maka itu bisnis dan itu halal. Tapi uang dengan uang menghasilkan keuntungan dipastikan itu riba. Silakan dengan berbagai analisa. Adapun sekarang model asuransi syariah sama saja karena objeknya uang dan menghasilkan uang. Apalagi jika tidak ada klaim masih ada aspek hangus. Ini namanya kedzaliman.” 

 

Ad Placement