Minggu, 01 Agustus 2021

TAQIYUDDIN AN-NABHANI DAN SIKAPNYA TENTANG ASURANSI

Taqiyuddin An-Nabhani yang bernama lengkap Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthofa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani lahir di daerah Ijzim pada tahun 1909 M.

Gelar “an-Nabhani” dinisbatkan pada kabilah Bani Nabban yang termasuk warga Arab penghuni sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim, Hanifa, Palestina Utara. 

Beliau mendapat pendidikan agama secara langsung dari ayahnya yang merupakan seorang alim yang faqih dalam masalah agama. Ia meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah al-Azhar pada tahun 1928 dengan meraih predikat mumtaz jiddan. Lalu ia menamatkan pendidikan selanjutnya di Kulliyah Darul Ulum dan secara bersamaan juga belajar di Universitas al-Azhar.

Beliau merupakan ulama yang tidak pernah mengikuti salah satu madzhab. Dengan kata lain, beliau lebih memilih dan menetapkan ushul fikih beliau sendiri yang khusus baginya dimana sebagian besar dijadikan pegangan oleh umat Islam terutama yang tergabung dalam Hizbut Tahrir.

Dalam kitabnya yang berjudul an-Nizhamu al-Iqtishadi fi al-Islam, Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa asuransi merupakan salah satu akad atau transaksi antara perusahaan asuransi dan tertanggung. Ia mendefinisikan asuransi sebagai akad (transaksi) yang merupakan kesepakatan antara dua pihak yang di dalamnya terdapat ijab dan qabul. Ijab dari pihak tertanggung, sedangkan qabul dari perusahaan asuransi.

Meskipun syariah Islam membolehkan meraih nilai materi (qimatu al-madiyyah) dari akad (transaksi) dalam asuransi yang terjadi antara perusahaan asuransi dan tertanggung, namun dalam hal ini Taqiyuddin An-Nabhani melakukan kajian dan analisis terhadap ide dasar dari akad (transaksi) dalam asuransi tersebut. Karena pada faktanya, banyak diantara kaum muslimin yang terlibat dalam transaksi tersebut. 

Dalam membahas permasalahan asuransi, Taqiyuddin An-Nabhani lebih menekankan kajiannya pada aspek filosofis :

“Dalam hal ini, pihak tertanggung meminta komitmen kepada perusahaan asuransi untuk memberi ganti rugi (pertanggungan) kepada yang bersangkutan. Bisa jadi pertanggungan adalah berupa barang, sebagai ganti rugi barang yang hilang, atau berupa harganya, apabila terkait dengan jiwa dan sejenisnya; termasuk jika ada kejadian yang menimpa pihak tertanggung dalam jangka waktu tertentu, sebagai ganti rugi dalam bentuk uang tertentu. Kemudian, perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung (insurer) menerimanya.

Berdasarkan akad (transaksi), yakni kesepakatan yang dilakukan kedua belah pihak,perusahaan asuransi berjanji untuk mengganti, atau membayar uang sejumlah tertentu sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Apabila pihak tertanggung mengalami suatu kejadian yang sesuai dengan polis asursansi, maka perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung harus mengganti barang yang rusak, atau mengganti harganya sesuai dengan harga pasar pada saat peristiwa tersebut terjadi. Perusahaan asuransi inilah yang berhak memilih, antara membayar harganya atau mengganti barang kepada pihak tertanggung, atau kepada orang lain. Dengan demikian, ganti rugi ini merupakan salah satu hak pihak tertanggung terkait dengan jaminan perusahaan asuransi ketika poin-poin yang disebutkan dalam polis asuransi tersebut terjadi, yaitu perusahaan asuransi mengakui haknya atau jika pengadilan memutuskan hak tersebut”.

Selanjutnya, Taqiyuddin An-Nabhani setelah melakukan pengkaijan dengan berpedoman pada konsep syariah, menarik suatu kesimpulan bahwa secara keseluruhan, asuransi menurutnya haram sebagaimana dikatakannya seperti berikut :

“Atas dasar ini, hukum asuransi secara keseluruhan menurut syari’ah adalah haram. hukum ini mencakup semua jenis asuransi, baik asuransi jiwa, asuransi barang atau asuransi harta benda dan lain-lain. Keharamannya terletak pada akadnya yang bathil. Selain itu, janji yang diberikan oleh perusahaan asuransi pada saat penandatangan polis asuransi adalah janji bathil. Dengan demikian, perolehan harta melalui transaksi yang sejenis atau transaksi semacam ini adalah haram, dikategorikan memakan harta dengan cara yang bathil, dan termasuk dalam kategori harta yang kotor”.

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Taqiyuddin An-Nabhani bersikap keras dan tegas terhadap asuransi dimana ia mengharamkannya secara keseluruhan.

Referensi :

Asuransi Menurut Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani. M. Nur Basyar. Skripsi Jurusan Muamalah/Hk Perdata Islam, Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim. 2011. 

taqiyuddin an-nabhani

 

Ad Placement