Selasa, 24 Agustus 2021

KEBOLEHAN ASURANSI MENURUT MUSTAFA AHMAD AL-ZAHRA

Salah satu ulama yang membolehkan asuransi secara mutlak adalah Mustafa Ahmad Al-Zarqa yang dituangkan dalam karya tulis yang diajukan pada Majma’ al-Fiqh al-Islami.

Al-Zarqa memandang bahwa asuransi dapat disamakan dengan akad muwalah dalam hukum waris. Selain itu beliau menyamakan akad asuransi dengan aturan aqilah. Pandangan ini menjadi menarik disimak karena sebagian besar ulama kontemporer telah menjatuhkan status haram pada asuransi.

Nama lengkap Mustafa Ahmad Al-Zahra adalah Mustafa ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Sayyid Usman ibn Muhammad ibn Abd al-Qadir Al-Zarqa. Ia lahir di daerah Aleppo, Suriah, pada tahun 1322 H atau bertepatan dengan 1904 M. Ayahnya yang bernama Ahmad Al-Zarqa merupakan seorang ulama besar madzhab Hanafi.

Mustafa kecil bersekolah di Aleppo Syaria’a Collage (al-Madrasah al-Khasrawiyah al-Syari’ah) yang berlokasi di sebuah kompleks masjid yang dibangun oleh Khesrev Pasha, seorang penguasa kekaisaran Utsmaniyah di Aleppo. Pada level pendidikan tinggi, ia terdaftar di Universitas of Syiria (yang kemudian dikenal dengan nama University of Damascus). Disamping belajar formal, ia juga mengikuti pengajian-pengajian Syaikh Badr ad-Din al-Hasani. Ia juga rutin mengikuti pengajian ayahnya, Syaikh Ahmad Al-Zarqa yang mengajarkan beberapa kitab diantaranya Hasyiyah Ibn Abidin.

Mengapa Mustafa Ahmad Al-Zahra membolehkan asuransi ? Pembolehan itu tentu saja bukan tanpa argumen. Pertama, asuransi adalah suatu akad baru dalam fikih Islam dimana pada masa ulama-ulama terdahulu belum ditemukan nash-nash fikih yang membahas tentang asuransi. Pembahasan tentang asuransi baru ditemukan manakala Ibn Abidin menyinggung soal sukrah yang diterapkan masyarakat waktu itu. Kedua, kontrak asuransi dapat disamakan dengan akad al-muwalah yaitu akad yang terjalin diantara orang yang tidak diketahui nasabnya dengan orang yang diketahui nasabnya. Kemudian orang yang tidak diketahui nasabnya itu berkata kepada orang yang diketahui nasabnya, “Kamu adalah waliku, kamu membayar denda darah jika aku melakukan tindak kriminal dan kamu akan mewarisi hartaku jika aku meninggal”. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa muwalah merupakan akad yang sah dan menjadi salah satu sebab waris.

Dalam hubungannya dengan praktek asuransi, pemilik mobil yang mengasuransikan kendaraannya dapat disamakan dengan mawla sedangkan perusahaan asuransi disamakan dengan wali. Sementara risiko yang dihadapi disamakan dengan jinayah. Lebih lanjut, Al-Zarqa mengatakan bahwa hubungan antara muwalah dan asuransi sangat erat. Ketidakpastian yang ada pada akad muwalah (seperti janji waris dan tindak kriminal) adalah hal yang belum dapat dipastikan kejadiannya, begitu juga dalam asuransi, risiko yang dihadapi belum dapat dipastikan kedatangannya. Dipandang dari sudut ushul al-fiqh dalam penganalogian adalah bahwa akad muwalah sebagai asl (kasus asal), asuransi sebagai far’ (kasus baru atau cabang), illah-nya akad adalah tadhamun dan hukumnya diperbolehkan.

Argumen lain yang diajukan Al-Zarqa adalah penganalogian asuransi dengan dhaman khatr al-tariq yaitu akad dimana seseorang menanggung keselamatan orang lain yang akan melaksanakan perjalanan dengan membayar uang kepada penanggung. Contohnya jika seseorang berkata kepada orang lain, “Berjalanlah di jalan ini, sesungguhnya jalan ini aman. Maka jika terjadi sesuatu kepada kamu, saya akan menanggung”. Lalu ia berjalan dan ternyata bertemu perampok, maka si penanggung harus membayar ganti rugi kepada tertanggung. Al-Zarqa berpendapat bahwa antara dhaman khatr al-tariq dan asuransi memiliki kesamaan yang memungkinkan peng-qiyasan asuransi terhadap dhaman khatr al-tariq meskipun dalam Radd al-Mukhtar-nya Ibn Abidin, peng-qiyasan sukrah dengan dhaman khatr al-tariq tidak sah karena ada perbedaan yang mendasar diantara keduanya.

Singkatnya, menurut Al-Zahra, penanggung dalam dhaman khatr al-tariq sama dengan penanggung dalam asuransi. Begitu juga risiko yang ada pada dhaman khatr al-tariq sama dengan risiko pada asuransi dan akad keduanya merupakan akad dhamanah. Sedangkan kaitannya dengan metode qiyas, akad dhaman khatr al-tariq berkedudukan sebagai asl (asal), asuransi sebagai far (kasus baru), serta akad dhamanah (penanggungan) sebagai illah yang hukumnya diperbolehkan. 

Argumen lain yang disampaikan Al-Zarqa dalam peng-qiyasan asuransi adalah nizam al-awaqil. Awaqil adalah bentuk jamak dari aqilah dimana aqilah adalah asabah yaitu kerabat dari pihak bapak yang ikut membayar diyat atas pembunuhan tidak sengaja yang dilakukan saudaranya. Atas dasar itu, dapat diketahui bahwa nizam al-awaqil dalam Islam aslinya adalah adat yang baik karena bercirikan tolong-menolong yang ada sejak sebelum Islam dimana datangnya syariat Islam mengakui adanya pemikiran tentang diyat ini. Kewajiban ini hanya berlaku dalam tindak kriminal yang bersifat tidak disengaja. Sedangkan jika tindak pidana itu dilakukan dengan unsur kesengajaan maka yang berlaku adalah hukum qisas. Menurut Al-Zarqa, hal ini sama dengan aturan dalam asuransi yang tidak memasukkan jinayah atau suatu kecelakaan yang disengaja.

Referensi :

http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/almanahij/article/view/1322/1207

 

Ad Placement