Selasa, 27 Juli 2021

MENGAPA SAYYID SABIQ MENGHARAMKAN ASURANSI ?

Pendapat kalangan ulama terkait asuransi (belum mengarah pada pembahasan asuransi syariah) dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok dimana salah goloangan itu adalah mereka yang mengharamkan asuransi.

Diantara ulama terdahulu yang disebut-sebut mengharamkan asuransi adalah Sayyid Sabiq. Ia adalah seorang ulama Mesir yang memiliki reputasi internasional di bidang fikih dan dakwah Islam terutama melalui karya monumentalnya yang berjudul Fiqh al-Sunnah.

Nama lengkapnya adalah as-Sayyid Sabiq at-Tihami yang lahir di Istanha, Mesir pada tahun 1915 M. Silsilahnya dikatakan menyambung kepada khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Ia merupakan penganut madzhab Hanafi yang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar yang selanjutnya sejak tahun 1974 mendapat tugas di Universitas Umm al-Quran.

Disebutkan bahwa sang ulama (dalam kitab Fiqh al-Sunnah Jilid 3) menyatakan asuransi bukan termasuk mudharabah yang shahih, namun fasid, dimana hukumnya secara syara bertentangan dengan hukum akad asuransi. Hal ini terjadi karena tidaklah mungkin perusahaan memberi sumbangan kepada orang yang mengasuransikan dengan pembayarannya. 

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa hakikat dalam akad asuransi hidup adalah tidak sah. Untuk menjelaskan hal itu, ia mengatakan, “Sesungguhnya akad asuransi hidup, jika ia membayarnya secara mencicil pada masa hidupnya seseorang, ia berhak meminta kembali semua jumlah uang yang telah ia setorkan secara bertahap, berikut keuntungan yang mereka sepakati bersama perusahaan”. 

Sayangnya, saya sampai saat ini belum memperoleh sumbernya secara langsung atas isi perkataan Sayyid Sabiq sebagaimana yang dinukilkan beberapa sumber yang menyatakan bahwa pada dalam Fiqh al-Sunnah Jilid 3 disebutkan “asuransi bukan termasuk mudharabah yang shahih tetapi termasuk mudharabah yang rusak”. 

Apabila saya boleh berpendapat, antara “asuransi” sebagai produk proteksi atas kerugian keuangan karena risiko yang mungkin dialami peserta, dengan “perbankan” sebagai produk investasi yang dapat memiliki risiko untung atau rugi, memang berbeda. Asuransi bukan bank dan bank bukan asuransi. Keduanya memiliki karakteristik dan pola kerja yang berbeda sehingga kritik tentang mudharabah perlu dikaji lebih lanjut (kecuali yang dimaksud adalah produk asuransi jiwa yang berbalut investasi). 

Kemudian, Sayyid Sabiq dikatakan memiliki pendapat “Sesungguhnya akad asuransi hidup, jika ia membayarnya secara mencicil pada masa hidupnya seseorang, ia berhak meminta kembali semua jumlah uang yang telah ia setorkan secara bertahap, berikut keuntungan yang mereka sepakati bersama perusahaan.” 

Mungkin ia menyoroti produk asuransi jiwa dwiguna (endowment insurance) dimana jika tertanggung masih hidup di akhir pertanggungan maka ia akan mendapatkan uang pertanggungan plus bunga dari hasil investasi. Apakah ketidaksetujuannya terkait pengembalian dana, ataukah karena adanya unsur bunga di dalamnya ?. Dalam kutipan itu juga tidak ada alasan yang spesifik dari Sayyid Sabiq pada aspek keharaman, apakah karena faktor riba atau yang lainnya, sehingga jalan pikiran Sayyid Sabiq kurang dapat dibaca secara utuh atau komprehensif. 

Barangkali ada diantara pembaca yang dapat menyajikan keterangan asli dari Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah yang disebutkan di atas ?. Hal ini diperlukan guna mengetahui latar belakang yang sebenarnya atas penolakan beliau terkait asuransi, dan bisa jadi ada sisi lain yang belum terungkap dari pernyataan Sayyid Sabiq, misalkan keharaman itu tidak bersifat mutlak apabila unsur-unsur yang menyebabkan keharamannya dapat tereliminasi.

Referensi :

http://etheses.iainkediri.ac.id/45/3/7.%20BAB%20II.pdf 

https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5366/1/BAB%20I%2CV%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

http://eprints.walisongo.ac.id/12008/1/2102292_Skripsi%20lengkap.PDF

 

Ad Placement