Selasa, 20 Juli 2021

PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA TENTANG KONSEP ASURANSI

Tidak di jaman sekarang dan tidak di jaman dulu, perbedaan pendapat tentang konsep asuransi seolah tak ada habisnya. Diantara ulama-ulama terdahulu sudah terjadi perbedaan pendapat terhadap konsep asuransi yang pada pokoknya terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok : 

Pertama, mereka yang menolak berbagai praktek asuransi karena mengandung unsur maisir, gharar, dan riba, yang dilarang dalam syariah. Ulama yang mendukung pendapat ini antara lain Syaikh Ahmad bin Yahya Al-Murtadha, Mustafa Zaid, Abdullah Al-Qalqili, Jalal Musthafa al-Sayyad, Sayyid Sabiq, dan Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi.

Fatwa Syaikh Ahmad bin Yahya Al-Murtadha (w.840 H) dalam kitabnya yang berjudul “Al-Bahruz Zakhar” menyatakan bahwa penjaminan terhadap sesuatu dari kecurian atau ketenggelaman adalah bathil. Menurut para ulama, fatwa ini merupakan fatwa pertama yang dikeluarkan seorang ulama berkenaan dengan hukum asuransi.

Al-Qardhawi sendiri dalam bukunya yang berjudul “Al-Halal Wal Haram Fil Islam” mengatakan bahwa asuransi konvensional dalam praktek sekarang bertentangan dengan hukum Islam. Ia mencontohkan dalam asuransi kecelakaan yaitu seorang anggota membayar sejumlah uang (premi) setiap tahun. Apabila ia lolos dari kecelakaan, uang jaminannya akan hangus atau hilang. Adapun si pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikit pun ia tidak mengembalikan kepada anggota asuransi tersebut.  

Kedua, mereka yang menerima praktek asuransi umum namun keberatan terhadap praktek asuransi jiwa karena mengandung unsur maisir (judi), gharar (ketidakpastian), dan bertentangan dengan prinsip mirats (waris) dan washiyah (wasiat). Pandangan ini disampaikan pada sebuah seminar di Maroko pada tanggal 6 Mei 1972 yang diikuti oleh sejumlah ulama seperti Abdur Rahman Isa, Ahmad Ibrahim, Mohd Musa, Mufti Muhammad Bakhit Al-Muthi’i, Muhammad Abu Zahra, Syeikh Al-Azhar, Syeikh Jad Al-Haq, dan Ali Jad Al-Haq. Sebelumnya, pada Mahkamah Syar’iyah Kubra Mesir pada tanggal 4 Desember 1906, ulama-ulama yang hadir menetapkan bahwa tuntutan klaim asuransi jiwa merupakan tuntutan yang tidak dibenarkan secara syar’i karena mengandung unsur yang tidak diperbolehkan secara syariah.

Syeikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i yang merupakan Mufti Mesir dalam risalahnya yang berjudul “Ahkam Sukarah” (1906) menambahkan bahwa kontrak asuransi merupakan kontrak yang fasid karena adanya gharar (ketidakjelasan) dan khatr (risiko), serta mengandung makna qimar (perjudian).

Ketiga, membolehkan praktek asuransi dengan syarat terbebas dari riba. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Ibn Abidin, Mohammad Taqi Amini, Syeikh Mahmud Ahmad, Mustafa Ahmad Zarqa, Sayed Mohammad Sadiq Al-Ruhani, Ibrahim Tahawi, Ahmad Taha Al-Sanusi, Muhammad Yusuf Musa, Mohammad Al-Bahi, Ali Al-Khafif, Zahar Shahidi, Mohammad Nejatullah Siddiqi, Mohammad Muslihuddin, MA Mannan, Ali Jamaluddin Awad, dan Ayatullah Khomeni. 

Syaikh Ibn Abidin merupakan ulama pertama yang secara panjang lebar berbicara mengenai asuransi. Diantara ulasan beliau adalah bahwa telah menjadi kebiasaan jika para pedagang menyewa kapal dari seorang harby, maka mereka akan membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar sejumlah uang (yang disebut sebagai sukarah) untuk seorang harby yang berada di negara asal penyewa kapal dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal yang berada di kapal yang disewanya itu apabila mengalami musnah karena kebakaran atau tenggelam atau dibajak dan sebagainya maka penerima uang sukarah itu menjadi penanggung sebagai imbalan dari uang yang diambil dari pedagang itu. Si harby yang bertindak sebagai ‘penanggung’ itu mempunyai wakil yang mendapat perlindungan (musta’man) yang berdiam di kota-kota pelabuhan negara Islam atas ijin penguasa. Si wakil harby tersebut menerima uang ‘premi asuransi’ dari para pedagang dan bilaman barang-barang mereka tertimpa peristiwa yang disebutkan di atas maka penjamin akan memberikan ganti rugi secara utuh kepada pedagang itu.

Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa menyatakan bahwa asuransi bagaimana pun bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Ia mengemukakan bahwa sepanjang dilakukan dengan bersih dari riba maka asuransi itu hukumnya boleh. Dalam pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, ia hanya bisa meminta pembayaran kembali sebesar premi yang pernah disetorkan tanpa ada tambahan. Namun apabila sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi sesuai dengan yang tercantum dalam polis dan ini halal menurut hukum syara’.

Dalam bukunya yang berjudul “Asuransi Syariah (Life and General): Sistem dan Operasional”, Muhammad Syakir Sula mengutip pendapat Ustadz Bahjat Ahmad Hilmi, seorang ulama Mesir, yang juga dikutip oleh K.H. Ali Yafie bahwa sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam sekarang mengenai masalah asuransi disebabkan karena mereka tidak memiliki gambaran yang luas atau utuh tentang ta’min atau asuransi itu sendiri menurut yang dimaksudkan oleh para ahli hukum syariah. Begitu juga dengan bagaimana konsep, sistem operasional, serta kontrak-kontrak asuransi dalam prakteknya.

Referensi :

Principles & Practices of Takaful and Insurance Compared. Mohd. Ma’sum Billah. IIUM Press. 2001.

Solusi Berasuransi, Lebih Indah dengan Syariah. Team Penulis Takaful. Penerbit Salamadani. 2009.

Akuntansi Asuransi Syariah. Ai Nur Bayinah, Sepky Mardian, Sri Mulyati, Erina Maulidha. Penerbit Salemba Empat. 2017.

Asuransi dalam Tinjauan Hukum Islam. Rikza Maulan. Presentasi Powerpoint. Tanpa Tahun.

takaful

 

Ad Placement