Minggu, 25 Juli 2021

IBNU HAJAR AL-ASQALANI ; PENSYARAH HADITS AL-AQILAH DALAM KITAB SHAHIH BUKHARI

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menyampaikan al-aqilah yang menjadi asal mula lahirnya konsep Takaful yaitu hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah ra. tentang perselisihan 2 (dua) orang wanita suku Huzail.

Dalam buku Principles & Practices of Takaful and Insurance Compared karya Mohd. Ma’sum Billah, saya baru mengetahui bahwa hadits yang menceritakan perselisihan 2 (dua) wanita suku Huzail tersebut bersumber dari kitab Fathul Baari Vol. 12 karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Maka tak ada salahnya jika kita coba mempelajari sosok ulama Islam yang satu ini.

Melalui aplikasi Google Play Store, kita dapat menginstall kitab Fathul Baari Vol.VII guna melihat sendiri isi dari kitab yang menceritakan tentang Al-Aqilah. Pada Jilid 33 kitab Fathul Baari Vol.VII disebutkan, dari Ibnu Al Musayyib dan Abi Salamah bin Abdirrahman bahwa Abu Hurairah ra. berkata, “Dua perempuan dari suku Hudzail berkelahi, lalu salah seorang dari keduanya melempari lainnya dengan batu hingga membunuhnya dan janin yang ada dalam perutnya. Setelah itu mereka mengadu kepada Nabi SAW lalu beliau memutuskan bahwa diyat janinnya adalah seorang budak laki-laki atau budak perempuan, dan beliau memutuskan bahwa diyatnya perempuan itu ditanggung oleh aqilah-nya”.

Ibnu Hajar al-Asqalani kemudian menjelaskan keterangan hadits di atas sebagai berikut :

(Bab janinnya yang dikandung wanita dan bahwa tebusannya menjadi tanggungan ayah dan ashabah ayahnya, bukan tanggungan anak). Pada bab ini, Imam Bukhari menyebutkan hadits Abu Hurairah dari 2 (dua) jalur yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya. Al Ismaili berkata, “Demikian Al Bukhari mencantumkan judulnya, bahwa tebusan (diyat) ditanggung oleh ayah dan ashabah ayah, sementara dalam hadistnya tidak menyebutkan keharusan ayah menanggung denda itu. Jika yang dimaksud adalah ibu yang melakukan tindak kejahatan itu, maka keputusan terhadapnya memang sudah ditetapkan, baik dia hidup ataupun mati, maka diyatnya menjadi tanggungan ashabah-nya.”

Yang bisa dijadikan pedoman adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Baththal. Maksudnya, diyat perempuan yang terbunuh menjadi tanggungan ayahnya perempuan yang membunuh dan ashabah-nya.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, ayahnya dan ashabah ayahnya adalah ashabah-nya, maka ini sesuai dengan redaksi hadits pertama pada bab ini, ‘dan bahwa diyatnya menjadi tanggungan ashabahnya’. Ini dijelaskan juga oleh redaksi hadits kedua pada bab ini, ‘dan beliau memutuskan bahwa diyatnya perempuan itu ditanggung oleh aqilahnya’. Imam Bukhari menyebutkannya dengan kata ‘ayah’ untuk mengisyaratkan kepada lafazh pada sebagian jalur periwayatan kisah ini.

Kemudian redaksi (pada judul), ‘bukan tanggungan anak’, Ibnu Baththal berkata, “Maksudnya, anaknya perempuan itu, jika tidak termasuk ashabah-nya maka tidak turut serta menanggung diyatnya karena diyatnya menjadi tanggungan ashabah selain dzawil arham. Konotasi hadits ini bahwa orang yang mewarisinya tidak menanggung diyatnya jika dia tidak termasuk ashabah-nya.”

Ini memang telah disepakati oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Al Mundzir.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, sebelum ini telah saya kemukakan bahwa dalam riwayat Usamah bin Umar disebutkan, ‘ayahnya kemudian berkata, “Semestinya diyatnya ditanggung oleh anak-anaknya.” Maka Nabi SAW bersabda, “Diyat ditanggung oleh ashabah (kerabat).”

Nama Ibnu Hajar Al-Asqalani sendiri sangat akrab di telinga kaum pesantren karena kitab-kitabnya banyak dijadikan referensi dalam proses belajar mengajar di pondok pesantren, diantaranya kitab Bulugh al-Maram, Tahdzib al-Tahdzib, dan Fath al-Bari. Kitab yang disebutkan terakhir merupakan syarah atau penjelas atas kitab shahihnya Imam Bukhari.

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Kinani Al-Asqalani atau lebih populer dengan sebutan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Lahir tahun 773 H di Kota Asqalan, Palestina. Versi lain menyebutkan ia lahir di Mesir. Ayah dan ibunya meninggal dunia saat ia berusia di bawah 5 (lima) tahun. Sepeninggal kedua orang tuanya, ia kemudian diasuh oleh kakak tertuanya, Az-Zaki Al-Kharubi.

Ibnu Hajar mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an saat berusia 9 (sembilan) tahun ketika belajar kepada seorang ahli fikih bernama Shadrudin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Saat menginjak usia 12 (dua belas) tahun, ia ditunjuk sebagai imam sholat tarawih di Masjidil Haram. 

Setelah mendapat berbagai ilmu pengetahuan, ia kemudian memutuskan kembali ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Selama bermukim di Mesir, ia tercatat pernah menjadi qadi atau hakim selama kurang lebih 21 (dua puluh satu) tahun.

Referensi :

https://www.republika.co.id/berita/q9s1kb430/perjalanan-ibnu-hajar-al-asqalani

al-aqilah

 

Ad Placement